Selasa, 13 November 2012

Menghadapi Globalisasi dengan Peningkatan Mutu Pendidikan

Menghadapi Globalisasi dengan Peningkatan Mutu Pendidikan Dani Andriana N, S.Pd Universitas Suryakancana Cianjur Pengaruh globalisasi yang semakin luas dalam berbagai bidang telah memberikan dampak, baik secara positif maupun negative terhadap berbagai bidang kehidupan. Pengaruh globalisasi yang ditunjang oleh teknologi informasi modern tersebut telah memungkinkan terbukanya arus informasi secara lebih mudah dan terbuka. Tidak hanya itu, arus barang dan jasa akan menjadi semakin mudah dan murah. Pada gilirannya, globalisasi telah mendorong terbentuknya kecenderungan tata hubungan dunia baru dengan terbentuknya pakta-pakta kerja sama ekonomi regional. Kerja sama ekonomi regional tersebut secara umum memfokuskan pada liberalisasi sektor barang dan jasa. Ini berarti, barang dan jasa akan lebih mudah keluar dan masuk suatu negara tanpa adanya hambatan-hambatan tarif sebagaimana selama ini diberlakukan. Terbentuknya kerja sama ekonomi regional ini memiliki konsekuensi logis terhadap daya tahan dan kemampuan bangsa kita dalam menghadapinya, terutama kemampuan Sumber Daya Manusia (Human Resources Capacity). Jika bangsa kita tidak memiliki SDM yang berkualitas, tentu konsekuensi logisnya adalah akan merugikan bangsa kita. Bidang pendidikan yang termasuk kategori sektor jasa, tentu tidak luput dari serbuan arus globalisasi. Ada dua konsekuensi dan kecenderungan yang harus diantisipasi oleh bangsa kita terhadap globalisasi dalam bidang pendidikan. Pertama, kecenderungan masyarakat kita untuk memilih menyekolahkan anak-anak mereka bersekolah di luar negeri. Mereka memandang bahwa kualitas sekolah di luar negeri lebih baik daripada sekolah di dalam negeri. Kedua, semakin banyaknya lembaga pendidikan dan tenaga pendidik dan kependidikan dari luar negeri masuk ke Indonesia. Lihat saja, banyak lembaga-lembaga pendidikan dari luar negeri mengiklankan sekolah mereka di media massa Indonesia, baik cetak maupun elektronik. Jenjang pendidikan yang mereka tawarkan pun beragam, mulai dari jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi. Mereka memandang bahwa Indonesia adalah pasar yang sangat potensial dalam segala hal, termasuk dalam pasar pendidikan. Negara tetangga kita, seperti Singapura dan Malaysia sangat gencar memasarkan produk pendidikan mereka. Dengan kemudahan yang mereka tawarkan, banyak masyarakat kita yang tertarik dan kemudian menyekolahkan anak-anak mereka di luar mereka yang dipandang lebih berkualitas. Angka-angka berupa Education Development Index (Indeks Pembangunan Pendidikan) yang senantiasa dirilis oleh UNESCO setiap tahunnya menunjukkan keprihatinan perkembangan dunia pendidikan kita, seperti misalnya data UNESCO tahun 2007 yang menempatkan Indonesia pada urutan 62, turun dari peringkat 58 tahun sebelunya. Sebaliknya, Malaysia menempati posisi Indonesia sebelumnya, dari 62 menjadi 56. Berdasarkan Laporan Pembangunan Manusia Global 2010 yang diluncurkan ke publik dunia pada 4 November 2010, Human Development Index atau Indekx Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada tahun 2010 masuk dalam kelompok menengah dengan nilai IPM 0,600, dengan peringkat ke-108 dari 169 negara yang dinilai. Nilai IPM Indonesia sebesar 0,600, berada di atas nilai rata-rata negara-negara berkembang kelompok menengah yang bernilai 0,592. Dari kawasan Asia dan Pasifik, negara yang nilai IPM-nya ”bertetangga” dengan Indonesia adalah Vietnam (peringkat ke-113) dan India (ke-119). Adapun negeri jiran Malaysia termasuk dalam negara yang memiliki IPM tinggi dan berperingkat ke-57 di kawasan tersebut. Angka-angka di atas menunjukkan betapa kualitas pendidikan di Indonesia yang jauh dari kualitas, bisa jadi menjadi salah satu faktor yang telah membuat sejumlah kalangan mengalihkan kepercayaan mereka kepada sekolah-sekolah di luar negeri untuk mendidik anak-anak mereka. Bermunculannya sekolah-sekolah berlabel lembaga-lembaga luar negeri atau lembaga-lembaga pendidikan kita yang menjalin kerja sama dengan mitranya dari luar negeri, tak bisa dilepaskan pula dari kepentingan untuk memperluas pasar lembaga pendidikan asing di Indonesia. Fenomena ini dapat dimaknai sebagai ketidakpercayaan lembaga-lembaga pendidikan kita untuk menyediakan pendidikan berkualitas. Padahal, lembaga pendidikan memiliki posisi strategis untuk menghasilkan SDM yang berkualitas dan kompetitif, yang mamupu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang nyatanya sangat berperan dalam membantu dunia usaha dalam upaya meningkatkan perekonomian nasional. Jika kedua fenomena di atas tidak segera diantisipasi oleh Pemerintah, bukan tidak mungkin, Indonesia hanya akan menjadi bulan-bulanan Negara-negara lainnya dalam merebut pasar pendidikan yang semakin kompetitif. Terbentuknya pakta perdagangan seperti APEC yang meliberalisasi sektor perdagangan barang dan jasa pada tahun 2010 untuk pasar negara maju, dan tahun 2020 untuk pasar negara berkembang, pemberlakuan pasar bebas China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) yang sudah mulai berlaku awal tahun 2010 ini mengharuskan Pemerintah untuk melakukan pembenahan dalam segala hal, khususnya sektor pendidikan. Kebijakan Pendidikan di Indonesia dan Tantangan Global Konstitusi negara kita, yaitu dalam Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945 telah secara jelas menyatakan bahwa Pemerintah Negara Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Inilah visi besar bangsa Indonesia, yaitu untuk menggapai kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia yang disertai pula terwujudnya bangsa yang cerdas. Visi besar inilah yang kemudian diwujudkan dalam Pasal-pasal UUD Negara RI, yaitu dalam pasal 31, terutama pada ayat (3) yang berbunyi Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dalam undang-undang. Turunan dari pasal 31 ayat (3) inilah yang kemudian melahirkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Dalam bagian menimbang huruf (c) dinyatakan secara tegas bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevasi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan local, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Sementara, dalam Pasal 1 ayat (2) dinyatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Dari dua alas konstitusi di atas, kita dapat berasumsi bahwa sistem pendidikan kita pada hakekatnya telah didesain untuk menghadapi berbagai tantangan perubahan zaman dan arus globalisasi seperti yang tengah berlangsung sekarang. Dan, sistem pendidikan kita telah memberikan tempat bagi konstruksi bangunan nilai-nilai agama, kebudayaan nasional sebagai fondasi yang diharapkan dapat menahan serbuan dari pengaruh globalisasi. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana alas konstitusi di atas dapat benar-benar dirasakan dampaknya terhadap dunia pendidikan kita? Sejauh mana pemerintah menyiapkan perangkat peraturan perundang-undangan yang berpihak pada kepentingan nasional? Apakah aturan yang ada sekarang sudah benar-benar berpihak kepada kepentingan masyarakat secara luas? Ada sejumlah instrumen kebijakan yang secara tertulis berpihak kepada kepentingan nasional telah digariskan dalam Konstitusi dan peraturan perundang-undangan kita. Sebut saja misalnya, alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional seperti tercantum dalam Pasal 31 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945. Pasal inilah yang kemudian diterjemahkan dalam UU tentang sisdiknas pasal 46 yang memuat tentang tanggung jawab pendanaan pendidikan di antaranya berada di pihak Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Apalagi dalam pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi. Sementara, pada ayat (2) dinyatakan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Ini berarti bahwa terdapat ruang yang disediakan oleh konstitusi kita bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk secara sungguh-sungguh menyelenggarakan sebuah pendidikan nasional yang berpihak kepada kepentingan masyarakat secara luas. Belum lagi instrumen kebijakan lain yang sudah dihasilkan, semisal UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang pada hakekatnya bertujuan untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan pemberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah, dan berkesinambungan (bagian menimbang huruf (c). Tambahan lagi, untuk tujuan memajukan pendidikan nasional, kita sudah memiliki UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP. Dengan demikian, sebenarnya kita sudah menyiapkan perangkat perundang-undangan yang memadai dalam rangka menghadapi persaingan yang semakin ketat dalam era global ini. Kondisi Nyata Dunia Pendidikan Kita Meskipun banyak instrumen kebijakan yang telah digariskan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan kita, kondisi dunia pendidikan kita sepertinya tak beranjak dari kompleksitas persoalan yang mengitarinya, mulai dari persoalan yang sangat fundamental sampai kepada persoalan yang bersifat teknis-manajerial. Jenis persoalan yang fundamental misalnya terlihat dari adanya “conflicting” antara produk perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya. Akibatnya, produk turunan perundang-undangan yang terkait dengan dunia pendidikan kita semakin tak memiliki arah yang jelas. Bandingkan antara visi besar dan tujuan penyelenggaraan pendidikan seperti yang tertera pada Pasal 31 ayat 3 UUD Negara RI tahun 1945 dengan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 31 ayat 3 UUD Negara RI Tahun 1945 telah secara jelas menyatakan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Sekarang kita melihat bahwa penyelenggaraan Ujian Nasional yang berlandaskan pada PP No. 19 Tahun 2005 justru telah menimbulkan dampak sistemik secara luas di kalangan dunia pendidikan dalam bentuk timbulnya praktek-praktek kecurangan secara massiv hanya untuk mengejar target kelulusan 100%. Pertanyaannya, apakah praktek-praktek kecurangan yang diakibatkan oleh implikasi kebijakan UN sesuai dengan tujuan Pasal 31 ayat 3 di atas? Bagaimana kita bisa mewujudkan kecerdasan bangsa yang berakhlak mulia di tengah-tengah persaingan global jika persoalan fundamental ini tidak dituntaskan? Persoalan fundamental lainnya adalah masih kurangnya sarana dan prasarana belajar yang memadai sebagai syarat penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas sebagaimana telah dicantumkan dalam Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU tentang Sisdiknas. Bagaimana Negara secara sungguh-sungguh menyelenggarakan pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi jika masih banyak sekolah yang memiliki sarana dan prasarana yang tak layak sebagaimana disebut dalam Pasal 11 ayat (1) UU tentang Sisdiknas ini? Belum lagi persoalan kekurangan tenaga pendidik di seluruh pelosok negeri. Bagaimana peserta didik di banyak daerah bisa berkompetisi secara fair dengan peserta didik yang memiliki sarana yang lebih memadai, apalagi berkompetisi dengan negara lain? Kualitas tenaga pendidik yang belum memadai, tidak sesuainya jenjang dan latar belakang studi mereka juga menjadi problem tersendiri. Bagaimana mereka bisa menghasilkan peserta didik yang bisa berkompetisi dalam era persaingan global ini jika mereka sendiri masih dihinggapi persoalan kualitas dan kompetensi? Pada saat ini, sangat sedikit sekali pelajar Indonesia dari tingkat SD hingga SMA yang mempunyai tingkat kemampuan global tinggi, hal tersebut dibuktikan dengan hanya sekitar 1-2% pelajar lulusan SMA yang dapat diterima di perguruan tinggi di Singapura. Kondisi tersebut disebabkan karena institusi sekolah yang ada di Indonesia memang sangat sedikit yang siap berkompetisi di era globalisasi. Out put yang dihasilkan pun hanya menyediakan tenaga kerja “lower class” yang bekerja di sektor informal, seperti rumah tangga dan bangunan sebagai pembantu rumah tangga dan pekerja bangunan. Sementara, persoalan teknis manajerial misalnya dapat terlihat belum profesionalnya pemerintah dalam proses merencanakan, mengorganisasikan, dan melaksanakan serta melakukan evaluasi kebijakan secara terencana, terarah, dan terpadu kebijakan pendidikan di Indonesia. Selama ini, kebijakan pendidikan belum memiliki cetak biru jangka pajang pembangunan pendidikan Indonesia. Alhasil, kebijakan pendidikan di Indonesia hanya terkesan tambal sulam, pragmatis, yang hanya mengejar target jangka pendek. Apalagi, persoalan klasik yang menghinggapi birokrasi kita, perilaku korup penyelenggara pendidikan, manipulasi anggaran, mark-up pengadaan proyek, dan sebagainya. Menghadapi Persaingan Global Mencermati beragam persoalan yang menghinggapi dunia pendidikan kita, dan khususnya dalam menghadapi era persaingan global yang semakin kompetitif dan terbuka, ada beberapa rekomendasi yang bisa dilakukan, yaitu sebagai berikut. 1. Membenahi regulasi pendidikan yang senantiasa diarahkan kepada visi besar bangsa ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia. Visi besar ini harus menjadi pegangan para pengambil kebijakan, seperti, DPR dan Pemerintah, serta para pakar pendidikan dalam menterjemahkan ke ranah peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya. Pembangunan karakter masyarakat yang berbasis pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia yang bisa mengantisipasi tuntutan perubahan zaman juga harus menjadi acuan dan tertera secara aplikatif dalam peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya. Diyakini bahwa, globalisasi yang massif membawa konsekuensi terhadap kemungkinan terdegradasinya nilai-nilai social yang selama ini berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan karakter bangsa sebagaimana dicantumkan dalam Konstitusi harus benar-benar terurai secara nyata dalam peraturan perundangang-undangan sampai pada tahap operasionalnya. 2. Visi besar dalam Pembukaan UUD Negara RI yang menyandingkan kesejahteraan masyarakat dan kecerdasan bangsa sebagai sisi mata uang harus pula menjadi fokus perhatian semua pihak. Peningkatan kualitas pendidikan dan kualitas SDM berkorelasi positif terhadap meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Kualitas SDM yang tinggi dapat terlihat dari penguasaan teknologi tinggi. Bangsa yang menguasai teknologi akan memberikan kontribusi yang significant terhadap peningkatan perekonomian negara tersebut. 3. Peningkatan kualitas tenaga pendidik sebagai ujung tombak penyelenggaraan pendidikan. Kualitas ini tidak hanya diukur dari proses sertifikasi yang bersifat formalitas belaka, tetapi benar-benar melihat kualitas dan kompetensi serta karakter pendidik professional, berakhlak mulia, dan berorientasi global. Seorang tenaga pendidik yang memiliki cirri-ciri ini diyakini dapat memberikan donasi yang kuat terhadap lahirnya peserta didik yang berdaya saing global, namun berkarakter local dengan nilai-nilai agama dan budaya bangsa Indonesia. 4. Pemerintah dan DPR perlu melakukan terobosan kebijakan yang signifikan dalam hal akses bagi setiap warga negara untuk menikmati jenjang pendidikan tinggi secara lebih mudah. UU tentang BHP yang secara prinsip betujuan untuk memajukan pendidikan nasional, dan berfungsi untuk memberikan pelayanan yang adil dan bermutu kepada peserta didik, berprinsip nirlaba, harus benar-benar terwujud dalam hal pemberian akses pendidikan kepada setiap warga negara. Dengan demikian, pemberian akses yang luas, adil, dan merata ini akan berimplikasi positif terhadap peningkatan level pendidikan di Indonesia. Pada akhirnya, Indonesia akan lebih banyak menghasilkan tenaga-tenaga terdidik, dan penyedia tenaga kerja “upper class”. 5. Akselerasi Program Doktor (S3) dengan memberikan beasiswa bagi mahasiswa-mahasiswanya akan menghasilkan Doktor-Doktor muda yang siap berkompetisi dengan negara lain. 6. Program wajib belajar tidak hanya berhenti pada program Wajar 9 tahun, tetapi harus ditingkatkan minimal sampai 12 tahun, yaitu pada jenjang SMA. Ini nantinya menjadi ukuran tingkat rata-rata pendidikan Indonesia. 7. Untuk secara nyata mempersiapkan peserta didik dapat bersaing dalam era global, penggunaan bahasa asing (bahasa Inggris) harus benar-benar teraplikasi dalam kegiatan belajar mengajar peserta didik. Ini berarti, kualitas dan kompetensi tenaga pendidiknya tidak hanya menguasai bidang studi atau mata pelajaran yang diajarkannya, tetapi juga memiliki kemampuan berbahasa asing tertentu. 8. Persaingan global tidak hanya membutuhkan kemampuan dan kualitas, tetapi juga perilaku yang baik para praktisi dan pejabat pendidikan. Perilaku korup yang banyak ditengarai masih dilakukan oleh pejabat-pejabat tertentu hanya akan menghambat kemajuan pendidikan kita. Oleh karena itu, era persaingan bebas menuntut adanya akuntabilitas, transparansi, dan responsibilitas dari pengambil kebijakan pendidikan. Pendidikan harus menjadi usaha sadar segenap warga negara, pemerintah, dan semua pihak di negeri ini. Artinya, selayaknya, semua pihak harus menyadari bahwa keterpurukan bangsa dan kelemahan SDM kita dalam berkompetisi, baik secara ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi dapat terselesaikan jika negara benar-benar serius mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita. Wallahu’alam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar